Beranda Liputan Khusus Opini Refleksi Hari Kelahiran Pancasila dalam Konteks Globalisasi dan Dinamika Sosial

Refleksi Hari Kelahiran Pancasila dalam Konteks Globalisasi dan Dinamika Sosial

670
0
Penulisan Chandra Dinata Dosen Universitas Merdeka Malang
Keterangan Gambar : Chandra Dinata

DETIKEPRI.COM- Opini,  Tanggal 1 Juni selalu menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia. Pada hari ini, kita memperingati Hari Kelahiran Pancasila, dasar negara yang menjadi fondasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak hanya sekadar simbol negara, melainkan juga menjadi panduan moral dan etika bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam konteks globalisasi dan dinamika sosial yang semakin kompleks, penting bagi kita untuk merefleksikan bagaimana Pancasila dapat menjadi akar bagi masyarakat inklusif di Indonesia. Globalisasi telah membawa perubahan besar dalam tatanan ekonomi, politik, dan budaya, yang sering kali mempengaruhi nilai-nilai lokal dan identitas nasional.

Fenomena ini dapat dilihat melalui peningkatan arus informasi, mobilitas manusia, dan integrasi ekonomi global yang dapat mengikis nilai-nilai tradisional dan menimbulkan tantangan terhadap identitas nasional (Giddens, 1990).

Pancasila, dengan lima silanya, menawarkan landasan yang kuat untuk mempertahankan identitas nasional sekaligus mempromosikan inklusivitas dalam masyarakat. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan pentingnya penghormatan terhadap berbagai keyakinan agama di Indonesia, menciptakan kerangka toleransi yang memungkinkan keberagaman agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis.

Ini sangat relevan dalam konteks globalisasi yang sering kali membawa pengaruh budaya dan agama yang berbeda (Amal, 2017). Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menggarisbawahi prinsip keadilan sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia, yang esensial dalam menghadapi isu-isu ketidakadilan global dan diskriminasi.

Dalam era digital, di mana informasi dapat dengan cepat menyebar, penting untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan untuk melawan hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memecah belah masyarakat (Castells, 2009). Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menjadi perekat yang sangat penting di tengah-tengah keberagaman etnis, budaya, dan bahasa di Indonesia.

Globalisasi dapat menyebabkan fragmentasi sosial jika tidak diimbangi dengan upaya untuk memperkuat persatuan nasional. Pancasila mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus dirawat, bukan dijadikan sumber konflik (Habermas, 2001). Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mendorong demokrasi yang partisipatif dan inklusif.

Dalam konteks global, di mana demokrasi liberal sering kali terancam oleh populisme dan ekstremisme, prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dapat menjadi model alternatif yang menekankan musyawarah dan mufakat sebagai cara untuk mencapai keputusan yang adil bagi semua pihak (Dahl, 1998).

Dan sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan pentingnya pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial. Globalisasi sering kali memperlebar kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin, tetapi Pancasila mengajarkan bahwa keadilan sosial adalah fondasi utama untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan (Sen, 1999).

Refleksi atas nilai-nilai Pancasila dalam konteks globalisasi ini menunjukkan bahwa Pancasila tidak hanya relevan sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai panduan moral dan etika dalam menghadapi tantangan global. Dengan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, Indonesia dapat membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan harmonis di tengah arus globalisasi yang terus berubah. Oleh sebab itu, tulisan ini memberikan gagasan tentang Pancasila Sebagai akar dari inklusifitas, sebagai sebuah refleksi kekinian keberadaan Pancasila yang bukan saja sebagai dasar dan pondasi kenegaraan tetapi menginternalisasi nilai-nilainya kedalam seluruh lini kehidupan sebagaimana yang dicanangkan oleh founding father bangsa Indonesia.

Pancasila: Fondasi Nilai-Nilai Kebersamaan Pancasila terdiri dari lima sila yang mengandung nilai-nilai luhur kebersamaan dan kemanusiaan. Setiap sila memiliki makna yang mendalam dalam membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan kita untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mendorong kita untuk memperlakukan setiap individu dengan adil dan beradab, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa di tengah keberagaman. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengajarkan kita untuk mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan.

Terakhir, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengingatkan kita akan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Nilai-nilai ini menjadi landasan dalam menciptakan masyarakat yang inklusif, di mana setiap individu merasa dihargai dan memiliki kesempatan yang sama. Tantangan dalam Mewujudkan Masyarakat Inklusif. Meskipun Pancasila telah lama dijadikan sebagai dasar negara, implementasinya dalam kehidupan sehari-hari masih menghadapi berbagai tantangan.

Salah satu tantangan utama adalah masih adanya diskriminasi dan ketidakadilan sosial yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan masih sering terjadi, baik dalam bentuk verbal maupun tindakan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya terinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, ketimpangan ekonomi yang masih tinggi juga menjadi penghalang bagi terciptanya masyarakat inklusif. Ketimpangan ini menyebabkan adanya perbedaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja, yang pada akhirnya memperlebar jurang sosial antar kelompok masyarakat. Dalam konteks ini, Pancasila harus menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan sosial dan mengurangi ketimpangan yang ada.

Peran Pendidikan dalam Menginternalisasi Nilai Pancasila, salah satu cara efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai Pancasila adalah melalui pendidikan. Pendidikan Pancasila harus dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada siswa. Kurikulum pendidikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap mata pelajaran.

Di sisi lain, keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat juga berperan dalam membentuk karakter anak. Orang tua harus menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kegiatan-kegiatan di masyarakat, seperti gotong royong dan musyawarah, dapat menjadi media untuk mempraktikkan nilai-nilai Pancasila secara nyata.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat yang inklusif. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mengajarkan kita untuk saling menghormati, bersikap adil, dan bersatu dalam keberagaman. Namun, tantangan dalam mengimplementasikan nilai-nilai tersebut masih besar, terutama terkait diskriminasi dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, peran pendidikan sangat penting dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila. Melalui pendidikan yang baik, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan harmonis, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.