Polemik Baru Warga Dayak Paser, Khawatir Bakal Tersingkir dari Tanah Adat, Akibat Ibu Kota Baru

    704
    0
    Warga Dayak Pasesr khawatir wilayah adat mereka semakin sempit akibat proyek ibu kota baru, setelah sebelumnya bersinggungan dengan perusahaan sawit. | Photo : ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY

    DETIKEPRI.COM, KALIMANTAN – Perencanaan pemindahan Ibu Kota baru ternyata menambah penderitaan dan polemik baru bagi warga tempatan yang telah lama tinggal di wilayah tersebut, warga Dayak Paser bakal menuai masalah akibat pembangunan Ibu Kota Baru.

    Setelah sekian lama selalu berkecamuk dengan para perusahaan yang telah merongrong hutan adat dan tanah adat suku Dayak Paser, kini warga Dayak Paser harus menerima kenyataan yang bakalan terusir dari tanah adatnya sendiri akibat perencanaan pembangunan Ibu Kota Baru yang telah di rancang Presiden Jokowi.

    Setidaknya terdapat empat desa komunitas adat Dayak Paser di wilayah yang ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi pusat pemerintahan baru.

    Terdapat pula 13 wilayah adat di sekitar ibu kota baru yang akan berpusat di Kecamatan Sepaku, PPU; dan Kecamatan Samboja, Kutai Kertanegara, merujuk pemetaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.

    BACA JUGA :  Tahun 2018, Pemkab Bintan Alokasikan Rp 634 Juta Lengkapi Mebeler Sekolah

    Namun pemerintah membantah bakal menggusur wilayah adat. Mereka berjanji memasukkan kepentingan warga Dayak Paser dalam rencana besar pemindahan ibu kota.

    Nada suara Sabukdin tak bergairah saat membincangkan wacana ibu kota baru. Kepala Adat Paser di Sepaku ini mengaku terlanjur memendam antipati pada beragam program bertajuk pembangunan dan perekonomian.

    Ibu kota baru, menurut Sabukdin, tak akan berbeda dengan alih fungsi hutan demi perkebunan kelapa sawit dan pengolahan kayu.

    Artinya, kata dia, warga Dayak Paser kembali berpotensi kehilangan hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka, dari pangan, papan, hingga persembahan untuk ritual sakral adat.

    “Saya waswas kalau ibu kota benar dipindah ke sini, kecuali pemerintah menjamin tatanan adat, situs dan hak-hak kami tidak punah,” ujar Sabukdin kepada BBC News Indonesia, Kamis (07/09).

    “Kami ingin daerah kami ramai, tapi bukan berarti kami menderita, hanya menonton.”

    BACA JUGA :  Personel Polsek Batu Ampar Selamatkan Percobaan Bunuh Diri Seorang IRT

    “Pendatang sudah hidup di tanah kami, kami tidak menikmati kemakmuran, tetap melarat dan bisa lebih melarat kalau ibu kota ada di sini,” tuturnya.

    Empat desa di calon ibu kota baru yang dihuni warga adat Dayak Paser adalah Desa Sepaku, Semoi Dua, Maridan, dan Mentawir.

    Sepaku dan Mentawir disebut Sabukdin sebagai perkampungan tertua yang didiami komunitas adatnya.

    Sabukdin berkata, selama bertahun-tahun sengketa lahan terjadi di perkampungan adat mereka. Penyebabnya adalah saling klaim lahan adat, transmigrasi, dan sawit.

    Tanah yang diklaimnya dimiliki secara turun-temurun semakin sempit dan terkepung desa transmigrasi serta lahan berlabel hak guna usaha (HGU).

    Mayoritas warga Dayak Paser saat ini mendapatkan penghasilan dengan menjual hasil kebun, seperti nanas, terong, hingga lombok.

    Sebagian kecil dari mereka, terutama para pemuda, bekerja sebagai operator mesin berat di perusahaan sawit.

    BACA JUGA :  Debby Ingatkan Orang Tua Bahaya Gadget Bagi Anak, Serta Ide Pemutaran Lagu Nasionalisme di Sekolah, Ini Alasannya

    “Dulu kami bisa mencari binatang buruan, madu, rotan, sirap, damar. Hutan itu tempat hidup kami. Sekarang semua sudah punah karena hutan dibabat habis,” ujar Sabukdin.

    Setidaknya terdapat tiga korporasi kelapa sawit di Kabupaten PPU yang saling silang dengan perkampungan adat Dayak Paser, yaitu PT ITCI Hutani Manunggal, PT ITCI Kartika Utama, dan PT Waru Kaltim Plantation.

    Adapun, Surat Keputusan Gubernur Kaltim 57/1968 membuka lahan transmigrasi seluas 30 ribu hektare di Sepaku.

    “Lahan kami diambil padahal di situ ada makam nenek moyang kami. Apalagi kalau nanti pemerintah pusat yang datang,” ujar Sabukdin.

    “Kami minta perlindungan resmi agar hak kami tidak diambil begitu saja.”

    “Masyarakat kami di pedalaman hampir 90% tidak punya surat kuat atau sertifikat. Kebiasaan kami hanya punya tanah tapi tidak mengurus surat,” kata dia.