Setiap musim latihan, para pemain menginap di mes milik Sutomo yang berlokasi di kawasan padat penduduk di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Terdapat tiga kamar di mes itu, sedangkan jumlah pemain dan anggota tim yang menginap mencapai 20 orang. Terkadang sebagian harus tidur di lantai beralas kasur tipis atau karpet.
Tidak ada bus khusus untuk keberangkatan tim menuju tempat latihan. Biasanya mereka konvoi menggunakan sepeda motor, mengesampingkan risiko yang bisa menimpa di jalan.
Selepas latihan, mereka terbiasa makan bersama di warteg. Tidak ada menu khusus atlet dengan asupan gizi yang ditakar.
Keberangkatan ke Bangladesh pun akhirnya terwujud setelah ada bantuan dari sejumlah pihak. Itu pun mereka masih harus berutang pada agen perjalanan dan saat ini masih mengumpulkan dana untuk menggantinya.
“Bahkan teman-teman itu transit di Malaysia minum satu botol air untuk 18 orang pemain, diputar, karena anggarannya sudah tipis benar untuk beli sesuatu, untuk makanan enggak cukup,” kenang Sutomo.
“Dengan serba kekurangan, teman-teman itu membuktikan komitmen mereka untuk bermain sebaik-baiknya. Walaupun kita punya keterbatasan, kita enggak mau kalah dengan teman-teman yang orang bilang dalam kondisi komplit,” tuturnya.
Setelah lolos ke putaran final Piala Dunia, tim Garuda Inaf berharap pemerintah bisa memfasilitasi mereka. Apalagi, Kementerian Pemuda dan Olahraga turut menargetkan agar Garuda Inaf bisa mencapai 10 besar dalam Piala Dunia nanti.
“Kita sih semua pemain optimistis (dengan target) itu, yang penting yang kami butuhkan saat ini sarana dan prasarana yang lebih dari sebelumnya,” ujar Tomo.