Tetapi semakin sering sistem komando-dan-kontrol nuklir ini juga digunakan untuk mendukung operasi non-nuklir.
AS misalnya mengoperasikan satelit untuk memberikan peringatan serangan peluru kendali bersenjata nuklir atau senjata balistik konvensional.
Dalam konflik NATO dengan Rusia, hal ini dapat dipakai untuk mengetahui peluru kendali balistik konvensional jarang pendek yang diluncurkan Rusia – sebagai langkah pertama untuk menembak jatuh.
Jika strategi ini berhasil, Rusia dapat memutuskan menyerang satelit peringatan dini AS sebagai balasannya.
Kenyataannya, kelompok intelijen AS telah memperingatkan bahwa Rusia sedang mengembangkan senjata laser darat untuk tujuan itu.
Tetapi melumpuhkan satelit peringatan dini AS bukanlah hanya berarti meremehkan kemampuan untuk mengetahui peluru kendali bersenjata konvensional.
Hal ini juga melumpuhkan kemampuan AS untuk mengetahui peluru kendali balistik bersenjata nuklir dan dapat meningkatkan ketakutan bahwa Rusia merencanakan perang nuklir terhadap AS.
Dan memang US Nuclear Posture Review terbaru – pernyataan resmi penting kebijakan nuklir AS – secara jelas mengancam untuk mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir terhadap negara manapun yang menyerang sistem komando- dan- kontrol nuklir.
Ancaman ini berlaku terlepas dari apakah negara itu menggunakan senjata nuklir lebih dulu atau tidak.
Larangan senjata
Pemerintahan negara nuklir diperkirakan menyadari semakin terkaitnya senjata nuklir dan non-nuklir.
Mereka juga menyadari paling tidak sebagian dari bahaya yang terkait.
Meskipun demikian, tugas mengurangi risiko ini sepertinya tidak diprioritaskan.
Pusat perhatian tetap pada peningkatan kemampuan militer, untuk menghadapi yang lainnya.
Salah satu kemungkinan adalah bagi berbagai negara untuk menyetujui larangan senjata yang dapat mengancam satelit komando-dan-kontrol nuklir.
Tetapi untuk saat ini, pemerintahan negara nuklir enggan untuk duduk bersama di meja perundingan.
Hasilnya, masa depan kerja sama macam ini sepertinya suram.