Kandungan Sulfur di Batasi, Beban Pelayaran Bakal Membengkak

    642
    0
    Kandungan Sulfur di Batasi, Beban Pelayaran Bakal Membengkak
    Kandungan Sulfur di Batasi, Beban Pelayaran Bakal Membengkak | Photo : Ist/Net

    DETIKEPRI.COM, EKBIS – Kadar maksimal tertentu. Bensin 88, bensin 91 dan bensin 95 kandungan sulfur yang diperbolehkan maksimal 0,05 %m/m atau 500 ppm. Minyak Solar 48 maksimal 0,35 %m/m atau 3500 ppm berlaku tahun 2015 dan untuk 1 Januari 2025 maksimal 0,005 %m/m atau 50 ppm. Minyak solar 51 maksimal 0,05 %m/m atau 500 ppm.

    Kandungan sulfur yang terkandung di bbm ketika terjadi pembakaran akan menjadi gas SO2 yang dibuang ke udara dan akan mengakibatkan masalah lingkungan seperti hujan asam dan pemanasan global. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa kandungan sulfur di bbm dibatasi.

    Pembatasan kandungan sulfur akan berakibat membengkaknya biasa bahan bakar minyak untuk setiap pelayaran, dan akan mengakibatkan biaya perjalanan tinggi.

    BACA JUGA :  Kredit Pintar, Aplikasi Pinjaman Dana Online Langsung Cair, di Awasi OJK

    Inilah alasan bagai pelaku pelayaran merasa berat dengan kebijakan pembatasan kandungan sulfur pada bahan bakar minya yang digunakan.

    Pelayaran bisa menderita kenaikan beban operasional saat pembatasan kandungan sulfur maksimal 5 persen pada bahan bakar kapal berlaku mulai 1 Januari 2020.

    Dilansir dari laman Bisnis Menurut Sekretaris Umum DPP Indonesia National Shipowners Association (INSA) Budhi Halim, harga marine fuel oil dengan kandungan sulfur tidak lebih dari 5 persen berpotensi merangkak karena lonjakan permintaan di tengah keterbatasan pasokan.

    “Perbedaan harga cukup signifikan. Yang sebelumnya US$60 per kiloliter, dengan penerapan pembatasan sulfur, harga naik dua kali lipat,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (10/6/2019).

    Budhi mengatakan MFO dengan kandungan sulfur di bawah 5 persen selama ini diproduksi hanya oleh sedikit kilang Pertamina, a.l. kilang Plaju. Kekurangan pasokan dari dalam negeri kemungkinan akan dipenuhi pelayaran dengan mengimpor dari atau mengisi BBM di Singapura. Sejauh ini, Negeri Merlion sudah memproduksi besar-besaran MFO dengan kandungan sulfur di bawah 5 persen.

    BACA JUGA :  WNA Bisa Miliki Rumah dengan Jaminan BP Batam

    Lompatan harga BBM akan mengerek drastis ongkos produksi mengingat komponen itu selama ini menyumbang 60 persen biaya operasional kapal.

    Dampak lainnya, potensi peredaran BBM akan berkurang dan angkutan BBM via kapal tanker juga berkurang.

    Meskipun demikian, sambung Budhi, Indonesia tidak dapat menghindar dari aturan Organisasi Maritim Dunia (IMO) itu jika negara sudah meratifikasi. Menurut dia, tidak ada pilihan selain mengimpor BBM dari Singapura atau mempercepat produksi Pertamina.

    BACA JUGA :  Ini Tanggapan Bos IMF Terkait Resesi Akibat Pandemi Covid-19

    Selama produksi BBM dengan sulfur di bawah 5 persen dapat digenjot, pengangkutan BBM via kapal tanker bisa pulih.

    “Tentunya ini hanya temporary saja dan lambat-laun diharapkan tentu akan kembali normal,” tutur Budhi.

    Di luar kenaikan harga yang mungkin signifikan, dari segi teknis, pelayaran di Indonesia dan Asia sebetulnya tidak keberatan dengan penerapan BBM sulfur rendah karena akan lebih baik untuk mesin kapal.

    Optimisme untuk mencapai ekuilibrium baru itu tecermin pada kesepakatan yang dicapai dalam the 28th Asian Shipowners Association (ASA) Annual General Meeting yang digelar di Bangkok akhir Mei.

    INSA belum dapat menjawab apakah kenaikan biaya operasional kapal akan diteruskan kepada pengguna jasa.(RIK)