Menengok Sejarah Sahara Maroko, Apa Maksud Provokasi Polisario?

    381
    0

    DETIKEPRI.COM, JAKARTA – Wilayah Sahara Maroko atau Sahara Barat kembali menjadi perhatian masyarakat internasional. Perhatian dunia tertuju ke wilayah itu setelah kelompok separatis Front Polisario melanggar perjanjian gencatan senjata dengan Kerajaan Maroko yang telah berlangsung selama 29 tahun pada akhir pekan kemarin.

    Konflik antara Maroko dan Polisario ini menjadi tema yang dibahas khusus dalam pertemuan rutin Dewan Kerjasama Perdagangan dan Investasi Indonesia-Maroko (DK-PRIMA) yang diselenggarakan Kamis malam (19/11).

    Pertemuan dihadiri mantan Dubes RI untuk Maroko, Tosari Widjaja, dan Presiden DK-PRIMA Heppy Trenggono bersama sejumlah pengurus lain.

    Sebagai narasumber adalah pengamat hubungan internasional Teguh Santosa yang pernah dua kali menjadi petisioner masalah Sahara Barat di Komisi IV di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, pada tahun 2011 dan 2012.

    Teguh juga pernah berkunjung ke Sahara Barat. Selain itu dia juga pernah berkomunikasi dengan sejumlah mantan petinggi Polisario seperti pendiri Polisario Ahmadou Ould Souilem yang memutuskan kembali ke pangkuan Kerajaan Maroko pada tahun 2010. Juga mantan Kepala Polisi Polisario, Mustapha Salma Ould Sidi, yang melarikan diri dari Kamp Tindouf dan membongkar kebobrokan Polisario.

    BACA JUGA :  Komplikasi Akibat Virus Corona, Yang bakal terjadi berikut penjelasannya

    Teguh juga pernah bertemu dengan utusan Polisario Muhammad Buhri yang pada tahun 2010 berkunjung ke Indonesia.

    Dalam pemaparannya, Teguh mengatakan, istilah Sahara Maroko merujuk pada Sahara Barat atau Western Sahara yang digunakan di forum-forum internasional. Selain kedua istilah ini, juga dikenal istilah Sahara Spanyol merujuk pada wilayah yang sama ketika masih dikuasai Spanyol dari tahun 1912 sampai 1976.

    Sejarah konflik di Sahara Maroko, kata Teguh yang juga Direktur Bidang Promosi, Media Luar Negeri DK-PRIMA, setidaknya dapat ditarik dari Konferensi Berlin di tahun 1884-1885. Di dalam konferensi yang dipimpin Kanselir Jerman Otto von Bismarck tersebut negara-negara superpower di Eropa sepakat untuk membagi-bagi benua Afrika, seolah-olah itu adalah tanah kosong yang tidak didiami manusia.

    BACA JUGA :  Bupati Tulang Bawang, Motivator Usaha Ekonomi Kreatif

    “(Superpower Eropa) membagi Afrika untuk menghindari konflik di antara mereka. Mereka sepakat siapa dapat apa,” terangnya sambil menayangkan peta yang memperlihatkan pembagian wilayah kekuasaan Eropa di Afrika.

    Di awal era yang disebut Scrambled for Africa itu, Kerajaan Maroko masih “aman”, alias tidak tersentuh oleh kekuasaan negara-negara Eropa.

    Baru pada tahun 1912, dalam Treaty of Fez atau Traktat Fez (sering juga disebut Fes), Sultan Abdelhafid menyerahkan Maroko kepada Prancis yang menempatkan Maroko di bawah perlindungan Prancis.

    “Melalui Perjanjian Fez di bulan Maret 1912, Maroko bersedia berada di bawah perlindungan Prancis. Lalu pada bulan November 1912 Prancis berbagi kekuasaan dengan Spanyol. Prancis menyerahkan wilayah selatan (Sahara Maroko) kepada Spanyol,” sambung Teguh yang juga merupakan Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko.

    BACA JUGA :  Cantiknya Design Vivo V21 5G

    Maroko Raya

    Dia melanjutkan, kekuasaan Prancis di utara Maroko berakhir pada tahun 1956. Walau Prancis telah angkat kaki dari bagian utara Maroko namun Spanyol enggan menyerahkan wilayah-wilayah Maroko yang mereka kuasai, baik yang berada di Gurun Sahara maupun yang berada di pesisir Laut Mediterania.

    “Sejak saat itu pula, orang-orang di utara Maroko berusaha untuk membebaskan Maroko (terutama yang berada di bagian selatan) dengan berbagai cara, termasuk perang gerilya demi mengusir Spanyol,” tambahnya.

    Sementara itu, sebagai bagian dari semangat menghapuskan kolonialisasi di muka bumi pasca Perang Dunia Kedua, di tahun 1960 PBB mengeluarkan Resolusi 1514 tentang Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples. Melalui Resolusi 1514 itu disusunlah daftar Non Self-Governing Territory, dimana Sahara Barat masuk di dalamnya.