Hal Mendasar Munculnya Referendum Aceh, Tetap bergabung Atau Lepas dari NKRI

    697
    0
    Tidak semua pengurus Partai Aceh setuju dengan wacana referendum yang digulirkan ketua umumnya.
    Tidak semua pengurus Partai Aceh setuju dengan wacana referendum yang digulirkan ketua umumnya. | Photo : Hak atas fotoRAHMAD/ANTARA

    DETIKEPRI.COM, ACEH – Panasnya suhu politik yang juga menjadi delik-delik kebencian serta penolakan pada hasil pemilu yang ditetapkan oleh KPU Nasional pada dini hari (21/05/2019) lalu, bahkan keputusan KPU ini dianggap menyalahi aturan tata tertib pemilu.

    Dengan mengumumkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin, menunjukan gerakan penolakan yang cukup besar atas tindakan memenangkan Paslon 01, hal ini dinilai sebagai kecurangan pemilu yang justru menguntungkan petahana.

    Tidak terkecuali Aceh yang notabene telah mendukung sepenuhnya Paslon 02, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

    Bahkan Pasangan Nomor Urut 01 kalah telak di aceh.

    Dilansir dari bbc.com Wacana menggelar referendum di Aceh dengan pilihan, tetap menjadi bagian wilayah Indonesia atau lepas dan menjadi negara baru, sebagaimana dalam kasus Timor Leste, diutarakan tidak lama setelah hasil penghitungan suara KPU menunjukkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kalah.

    BACA JUGA :  Perubahan Iklim di Alam akibat dari Kegiatan Manusia

    Di provinsi ini, Prabowo-Sandi menang telak dengan 81% suara.

    Sang penggagas adalah Muzakir Manaf, mantan panglima Gerekan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Komite Peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum Partai Aceh (PA). Muzakir Manaf dengan sebutan akrab Mualem juga pernah menjabat sebagai wakil gubernur Aceh.

    Salah satu alasannya, “Kita tahu bahwa Indonesia, beberapa saat lagi akan dijajah oleh asing. Itu yang kita khawatirkan. Karena itu, Aceh lebih baik mengikuti Timor Timur. Kenapa Aceh tidak.” Demikian penjelasan Muzakir sebagaimana dikutip oleh media di Indonesia.

    Menurut Marzuki AR, mantan kombatan GAM yang dekat dengan Muzakir Manaf, wacana referendum itu dapat dimaknai sebagai bentuk ketidakpuasan atas dua hal utama.

    BACA JUGA :  Kurang dari 1 Bulan Polres Karimun Berhasil Ungkap 6 Kasus Narkotika

    “Aceh mempunyai konsensus dengan Republik Indonesia menyangkut MoU Helsinki. Sampai hari ini tidak semua poin-poin yang kita sepakati terealisasi. Itu yang pertama, kata Marzuki AR dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.

    Mengapa referendum?

    Ia merujuk pada nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, tahun 2005 sebagai landasan perdamaian.

    Yang kedua, lanjutnya, tak dipungkiri wacana referendum muncul karena calon presiden yang diusung Partai Aceh kalah karena hal yang ia sebut “kecurangan”. Dalam pemilu 2014, banyak suara pemilih di Aceh diberikan untuk Prabowo. Demikian juga dengan pemilu 2019.

    “Hampir 90% rakyat Aceh memilih Prabowo-Sandi. Ini harapannya bahwa ada secercah harapan untuk perubahan di Aceh.”

    “Ketika proses demokrasi yang ditelanjangi hari ini dengan penuh kecurangan, transparansi bubar, kemudian tidak ada lagi rasa keadilan. Ini membawa efek luar biasa bagi Aceh,” jelas Marzuki AR yang menjadi sekretaris Badan Pemenangan Provinsi Aceh Prabowo-Sandi.

    BACA JUGA :  Kuasai Putaran Kedua, Bandung Bank BJB Pakuan Optimistis Juara Proliga

    Persoalannya mengapa agenda referendum digulirkan sekarang, 14 tahun setelah kesepakatan damai diteken dan sudah ada pula Partai Aceh yang dirintis mantan kombatan GAM?

    “Kalau kita menempuh jalan kekerasan, nanti dianggap kita membatalkan MoU. Nah kalau referendum hak semua warga negara secara demokrasi untuk mengeluarkan pendapat,” ungkap Marzuki AR.

    Ia menepis keras anggapan bahwa Muzakir Manaf menggulirkan isu referendum karena partai yang dirintis para kombatan GAM tersebut tidak banyak mendapat kursi legislatif.

    Perpecahan di Partai Aceh sendiri

    Namun di jajaran pengurus Partai Aceh dan kalangan eks kombatan GAM terdapat perbedaan pendapat sehubungan dengan wacana referendum yang disuarakan oleh mantan panglimanya, Muzakir Manaf.