JAKARTA — Melimpahnya stok beras nasional yang kini menembus angka 3,9 juta ton justru menimbulkan kekhawatiran baru.
Pasalnya, kapasitas gudang penyimpanan milik Perum Bulog dinilai tidak lagi mampu menampung volume sebesar itu, sehingga berpotensi menurunkan mutu beras akibat penyimpanan yang terlalu lama.
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengungkapkan bahwa kemampuan gudang Bulog idealnya hanya sekitar 3 juta ton.
“Kelebihan kapasitas ini membuat Bulog harus meminjam gudang milik kementerian atau lembaga lain, dengan kualitas penyimpanan yang tidak selalu sesuai standar,” jelasnya, Selasa (4/11/2025).
Kondisi tersebut, menurut Eliza, menyebabkan mutu beras menjadi tidak seragam dan berisiko rusak jika distribusi tidak segera dilakukan. “Manajemen stok harus diperbaiki agar sistem first in, first out (FiFo) berjalan. Jangan sampai beras lama justru tertumpuk di belakang,” ujarnya.
Ia menambahkan, standar gudang cadangan beras pemerintah (CBP) harus memenuhi SOP ketat, mulai dari pengaturan tata letak karung, sirkulasi udara, hingga perlakuan preventif terhadap jamur dan kutu.
“Penyemprotan saja tidak cukup, karena tidak menjangkau seluruh tumpukan beras,” tambahnya.
Eliza juga menyoroti potensi kerugian negara apabila beras terlalu lama disimpan. Bila kualitas menurun drastis, beras tersebut bahkan bisa terpaksa dialihkan menjadi pakan ternak, yang otomatis menurunkan nilai ekonominya.
Distribusi Tersendat, Penyaluran Belum Maksimal
Masalah tidak berhenti di penyimpanan. Proses distribusi beras juga dinilai belum berjalan optimal. Dari total stok 3,9 juta ton, sebanyak 3,2 juta ton merupakan hasil penyerapan dalam negeri, sedangkan sisanya merupakan stok tahun lalu.
Namun, penyaluran program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) baru terealisasi sekitar 552 ribu ton, sementara bantuan pangan baru mencapai 364 ribu ton. Akibatnya, beras terus menumpuk di gudang.
“Kalau penyaluran tidak segera dilakukan, maka saat panen berikutnya pemerintah akan kesulitan menyerap gabah petani, dan harga di tingkat petani bisa anjlok,” tegas Eliza.
Selain itu, ia menilai kebijakan kemasan SPHP 5 kilogram terlalu besar untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah disarankan menyediakan kemasan 1 kilogram agar lebih terjangkau.
Digitalisasi penyaluran melalui aplikasi Klik SPHP pun belum berjalan merata. Banyak pedagang di daerah belum familiar dengan sistem ini, sehingga perlu ada masa transisi, pelatihan, dan opsi penyaluran manual.
Alternatifnya, mobil keliling Bulog bisa menjadi solusi untuk memperluas jangkauan masyarakat kecil.
Produksi Melimpah, Risiko Penumpukan Mengintai
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonjakan besar dalam produksi beras nasional sepanjang 2025. Total produksi diperkirakan mencapai 34,77 juta ton, naik 13,54% dibanding tahun lalu yang hanya 30,62 juta ton.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa kenaikan ini disumbang oleh peningkatan luas panen padi yang mencapai 11,35 juta hektare. “Produksi subround I (Januari–April 2025) mengalami lonjakan tertinggi, naik hingga 26,54%,” ungkapnya.
Dengan peningkatan produksi dan keterlambatan penyaluran, stok beras di gudang Bulog berisiko menumpuk. CORE pun mendorong pemerintah melakukan revitalisasi gudang Bulog, melibatkan perguruan tinggi dan lembaga riset untuk menciptakan desain penyimpanan yang efisien dan tahan lama.
“Kalau gudangnya tidak diperbaiki, sementara produksi terus meningkat, maka kita bukan lagi bicara surplus, tapi potensi kerugian besar akibat beras rusak,” pungkas Eliza.

Saya seorang Wartawan di DETIKEPRI.COM yang dilindungi oleh Perusahaan Pers bernama PT. Sang Penulis Melayu, dan mendedikasikan untuk membuat sebuah produk berita yang seimbang sesuai kaidah Jurnalistik dan sesuai Etik Jurnalistik yang berdasarkan Undang-Undang Pers.






