SIDOARJO – Di bawah langit Sidoarjo yang muram, sebuah tragedi kemanusiaan telah menyisakan tumpukan puing beton dan pertanyaan yang mengusik nurani. Musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny yang seharusnya menjadi tempat ibadah yang damai, kini menjelma menjadi saksi bisu ambruknya harapan dan kegagalan sebuah struktur.
Lima hari pasca-bencana, sementara tim SAR berkejaran dengan waktu demi menemukan 53 korban yang masih hilang, Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) membuka tabir dingin penyelidikan, mengisyaratkan bahwa tragedi ini jauh dari kata sederhana.
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Inspektur Jenderal Polisi Nanang Avianto, pada Jumat (3/10) siang, berdiri di depan reruntuhan, menyampaikan sebuah pesan tegas namun hati-hati.
Ia menekankan bahwa musibah yang merenggut banyak nyawa ini tidak bisa hanya dipandang sebagai kecelakaan biasa. Penyelidikan, menurutnya, harus dilakukan secara menyeluruh, bahkan harus mundur ke titik nol: proses pembangunan konstruksi dari pondasi hingga atap.
“Ini kan harus dilihat dari awal semuanya. Dari proses saat runtuhnya ini sudah kita dokumenkan, kita ambil dokumentasinya. Dan ini harus sampai menyeluruh penyelidikannya,” ujar Kapolda Nanang, suaranya terdengar serius di tengah bising alat berat yang sesekali berhenti.
Pernyataannya bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah pengakuan jujur akan kompleksitas kasus ini. Mustahil, katanya, hasil penyelidikan akan maksimal jika hanya berfokus pada puing-puing di permukaan.
Polisi harus menyelami detail teknis, memahami setiap sambungan besi dan campuran semen yang kini terkubur. Inilah inti dramatisnya: di balik tumpukan material yang diam, tersimpan potensi kelalaian yang fatal.
Apakah ada material yang dikurangi? Apakah desain struktur tidak sesuai beban? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kini menjadi fokus utama tim ahli.
Sinergi Ahli dan Tiga Klaster Korban
Polisi, Kapolda mengakui, tidak dapat bekerja sendirian di ranah se-spesifik konstruksi. Pintu penyelidikan lantas dibuka lebar untuk melibatkan para pakar di bidangnya. “Kami harus ada panduan dari tim ahli konstruksi,” tegasnya.
Kolaborasi ini mencakup nama-nama besar dari dunia teknik sipil, mulai dari akademisi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) hingga ahli dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Keterlibatan mereka menjadi jaminan bahwa penanganan kasus ini akan didasarkan pada perhitungan sains dan teknis yang akurat, menjauhkan spekulasi yang bisa menyesatkan publik.
Tugas para ahli ini sangat krusial, terutama dalam menuntun proses evakuasi yang penuh risiko. Kapolda Nanang menegaskan, kehati-hatian adalah prioritas utama. Alat berat tidak bisa bergerak membabi buta.
“Tentunya tidak sembarangan (dalam mencari) sehingga kami libatkan tenaga ahli mengenai konstruksi dan bangunan… sehingga pada saat melakukan pemindahan ini, kami harus hati-hati juga karena di situ masih ada beberapa jenazah,” ungkapnya, menggarisbawahi dilema kemanusiaan yang dihadapi tim SAR: menyelamatkan jenazah yang tersisa tanpa memicu keruntuhan susulan.
Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan penyelidikan teknis, aspek kemanusiaan tetap menjadi jangkar utama operasi ini. Kapolda menyebut bahwa fokus utama saat ini adalah “masalah kemanusiaan”. Untuk memetakan dampak tragedi ini secara akurat, polisi telah membagi pendataan korban ke dalam tiga klaster:
- Santri: Anak-anak yang sedang menunaikan ibadah, kelompok terbesar korban yang terjebak.
- Pengurus Pesantren: Individu yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional harian di musala.
- Pekerja Pembangunan: Mereka yang terlibat langsung dalam proses konstruksi bangunan musala, yang bisa jadi menyimpan kunci penyebab ambruknya struktur.
Data awal yang dikumpulkan, sebuah angka yang menyayat hati, mencatat 53 orang korban masih belum ditemukan. Angka inilah yang menjadi pemicu bagi tim gabungan untuk terus bekerja tanpa lelah.
Mencari Keadilan di Akhir Cerita
Penyelidikan Kapolda Jatim, yang baru dimulai dengan tahapan pendataan dan pemanggilan tim ahli, pada akhirnya akan bermuara pada satu titik: pertanggungjawaban pidana.
Setelah semua korban dievakuasi, dan setelah tim ahli konstruksi memberikan laporan teknis yang komprehensif, polisi akan mengidentifikasi pihak-pihak yang berpotensi dimintai pertanggungjawaban. Apakah kontraktor? Apakah pengawas proyek? Atau bahkan pihak yang memberikan izin pembangunan?
Tragedi Ponpes Al Khoziny adalah peringatan keras bagi semua pihak. Sebuah bangunan yang tidak kokoh, pada akhirnya, tidak hanya runtuh menjadi puing, tetapi juga merenggut nyawa dan meninggalkan trauma mendalam.
Penyelidikan yang berhati-hati dan menyeluruh oleh Polda Jatim adalah janji kepada publik—terutama kepada keluarga 53 korban yang hilang—bahwa misteri di balik reruntuhan beton ini akan terungkap tuntas, dan keadilan akan ditegakkan setegak tiang musala yang kini tinggal kenangan. Proses ini mungkin lambat, namun Kapolda Nanang meyakinkan, ini adalah jalan satu-satunya menuju kebenaran.

Saya seorang Wartawan di DETIKEPRI.COM yang dilindungi oleh Perusahaan Pers bernama PT. Sang Penulis Melayu, dan mendedikasikan untuk membuat sebuah produk berita yang seimbang sesuai kaidah Jurnalistik dan sesuai Etik Jurnalistik yang berdasarkan Undang-Undang Pers.