EKBIS – Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat setelah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa desain kebijakan tersebut masih berada dalam jalur pembahasan strategis jangka panjang.
Meski belum ada kepastian kapan akan dilaksanakan, isu ini segera memicu diskusi luas di kalangan ekonom, pelaku usaha, dan masyarakat. Pertanyaan utamanya tetap sama: apakah redenominasi langkah efektif untuk memperkuat perekonomian, atau justru kebijakan yang terlalu dini?
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai nominal rupiah tanpa mengubah daya beli masyarakat. Contohnya, uang Rp1.000 menjadi Rp1 dalam sistem baru.
Pada 2010 dan 2013, BI pernah mengajukan rencana redenominasi, tetapi belum dilanjutkan karena mempertimbangkan situasi ekonomi dan politik nasional.
Tujuan dan Manfaat Redenominasi
Pemerintah menilai redenominasi dapat membawa sejumlah manfaat, terutama dari aspek efisiensi transaksi dan modernisasi sistem pembayaran. Penyederhanaan digit rupiah dianggap mampu:
- Mempermudah pencatatan akuntansi.
- Menyederhanakan sistem harga dan transaksi digital.
- Meningkatkan citra rupiah di mata internasional.
- Memperkuat persepsi stabilitas ekonomi jangka panjang.
Beberapa negara pernah berhasil melakukan redenominasi, seperti Turki (2005), Rusia (1998), dan Rumania (2005). Setelah diterapkan, negara-negara tersebut merasakan peningkatan efisiensi transaksi serta kemudahan dalam integrasi keuangan global.
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menilai redenominasi tidak secara langsung meningkatkan daya beli atau pertumbuhan ekonomi, tetapi berperan dalam memperbaiki persepsi dan menjaga kredibilitas mata uang.
“Redenominasi bukan solusi instan, tetapi bagian dari reformasi ekonomi jangka panjang,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik.
Kekhawatiran Publik dan Tantangan Implementasi
Meski begitu, tidak sedikit pihak yang menilai redenominasi berpotensi membingungkan masyarakat. Kekhawatiran muncul terutama terkait masa transisi, ketika mata uang lama dan baru beredar bersamaan.
Ekonom senior INDEF, Bhima Yudhistira, menilai bahwa kebijakan ini akan efektif hanya jika didukung kondisi makro yang stabil. “Jika ekonomi sedang melemah atau inflasi meningkat, redenominasi riskan disalahartikan sebagai sanering,” katanya.
Sanering adalah pemotongan nilai uang yang berdampak pada berkurangnya daya beli, sehingga definisinya berbeda dengan redenominasi.
Beberapa negara pernah gagal menerapkan kebijakan serupa karena dilakukan pada saat ekonomi sedang rapuh. Kasus Zimbabwe (2006–2009) dan Venezuela (2018) menunjukkan bahwa redenominasi tanpa stabilitas makro hanya memperburuk inflasi dan merusak kepercayaan publik.
- Indonesia perlu mengantisipasi tantangan seperti:
- Edukasi massif dan terstruktur untuk mencegah salah paham publik.
- Penyesuaian sistem akuntansi, perbankan, dan digital.
- Kesiapan dunia usaha dalam mengganti format harga.
- Pengawasan ketat agar tidak terjadi markup harga secara tidak wajar.
- Kesiapan Indonesia: Antara Optimisme dan Kehati-hatian
Bank Indonesia menyebut bahwa perekonomian Indonesia relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir, dengan inflasi terkendali dalam rentang target.
Namun tekanan eksternal akibat gejolak geopolitik, perlambatan ekonomi global, dan fluktuasi nilai tukar membuat sebagian pakar menyarankan agar kebijakan ini tidak dilakukan tergesa-gesa.
Gubernur BI dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa redenominasi perlu direncanakan dalam tahap panjang, minimal beberapa tahun sebelum implementasi penuh.
“Ini bukan kebijakan populis yang selesai dalam satu pemerintahan. Butuh konsistensi, edukasi publik, dan kesiapan sistem nasional,” ujarnya.
Sementara itu, pelaku usaha menilai bahwa redenominasi dapat mendorong efisiensi jangka panjang, namun mereka menekankan perlunya kepastian masa transisi. Dunia usaha memerlukan informasi jelas tentang tahapan perubahan, seperti format harga, sistem keuangan, dan penyesuaian software kasir hingga aplikasi digital.
Publik: Antara Harapan dan Kekhawatiran
Di sisi masyarakat umum, pendapat tentang redenominasi masih beragam. Sebagian mendukung karena melihat manfaat praktis, terutama dalam dunia digital.
“Harga di marketplace atau aplikasi sering kali terlihat sangat panjang. Kalau tiga nol hilang, jadi lebih ringkas,” kata Rina, pengguna e-commerce di Jakarta.
Namun sebagian lainnya masih ragu. Masyarakat lanjut usia dan kelompok pedesaan dinilai paling rentan mengalami kebingungan saat masa transisi. Pemerintah perlu memastikan edukasi yang merata, termasuk melalui media lokal dan bahasa daerah.
Efektif atau Salah Langkah?
Secara prinsip, redenominasi tidak berdampak negatif jika dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil. Namun kebijakan ini tidak membawa manfaat ekonomi signifikan secara langsung. Karena itu, para ekonom menilai bahwa efektivitas redenominasi bergantung pada tiga faktor utama:
- Stabilitas ekonomi makro jangka panjang.
- Kejelasan roadmap dan komunikasi publik.
- Kesiapan sistem teknologi dan infrastruktur keuangan.
Jika dilakukan saat ekonomi melemah atau inflasi naik, kebijakan ini bisa menjadi langkah yang kurang tepat dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik.
Redenominasi rupiah dapat menjadi langkah agresif menuju modernisasi ekonomi, tetapi memerlukan perencanaan matang dan komunikasi yang luas.
Hingga pemerintah dan BI memberikan kepastian jadwal, wacana ini masih akan terus menjadi perdebatan: apakah redenominasi adalah langkah strategis yang menyiapkan Indonesia memasuki era ekonomi digital baru, atau justru kebijakan prematur yang butuh waktu lebih lama untuk dipersiapkan?

Saya seorang Wartawan di DETIKEPRI.COM yang dilindungi oleh Perusahaan Pers bernama PT. Sang Penulis Melayu, dan mendedikasikan untuk membuat sebuah produk berita yang seimbang sesuai kaidah Jurnalistik dan sesuai Etik Jurnalistik yang berdasarkan Undang-Undang Pers.





