Menurut tradisi klasik Jawa, kain batik bermotif truntum biasa dipakai oleh orang tua pengantin pada saat hari pernikahan.
Batik ini dikenakan sebagai harapan agar cinta kasih yang tumaruntum akan menghinggapi kedua mempelai yang sedang menikah.
Selain itu, batik truntum juga dimaknai sebagai kewajiban untuk ‘menuntun’ bagi orang tua kepada pasangan yang sedang memasuki pernikahan sebagai tahapan hidup yang baru.
Berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta, motif batik Wahyu Tumurun pada awalnya dikenakan sebagai busana peribadatan sejak era Panembahan Senopati di Kotagede.
Motif batik ini kemudian dikembangkan kembali oleh Sultan Agung. Dengan motif yag identik pada pola mahkota terbang sebagai motif utama, motif batik Wahyu Tumurun dimaknai sebagai simbol kemuliaan.
Motif batik Wahyu Tumurun memiliki filosofi sebagai gambaran harapan agar pemakainya mendapat petunjuk, berkah, rahmat, dan anugerah yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Selain itu, motif batik ini juga memiliki filosofi seagai harapan untuk mencapai keberhasilan dalam meraih cita-cita, kedudukan maupun pangkat.